Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Senin, 12 April 2010

Sedikit Catatan Tentang Berita “Hitler Meninggal Di Indonesia”

Sedikit Catatan Tentang Berita “Hitler Meninggal Di Indonesia”

Kaget juga sekaligus bangga pas membaca berita bahwa pihak Istana Negara menanggapi tentang heboh berita meninggalnya Adolf Hitler di Indonesia, yang salah satu di antaranya diangkat oleh Vivanews. Kenapa bangga? Soalnya tidak lain dan tidak bukan, karena blog inilah yang PERTAMA mengangkat berita tersebut ke dunia internet!

Berawal dari hobi saya mengumpulkan berita-berita dan segala sesuatu tentang Nazi dan Hitler (yang dilakukan dari sejak SD!). Salah satu di antaranya adalah artikel yang dimuat di surat kabar Pikiran Rakyat tertanggal 24 Februari 1994, yang memuat kabar mengejutkan tentang kemungkinan Hitler menghabiskan sisa hidupnya disini. Langsung saja saya salin artikel tersebut dalam buku Big Boss yang memang saya khususkan untuk mengkliping hal-hal terkait. Anehnya, yang saya tahu adalah zaman dulu tak sampai terjadi kehebohan mengenai masalah ini. Entahlah, apa karena beritanya “hanya” dimuat di sebuah koran daerah, atau memang masalah perNazian ini masih belum booming di tanah air?

Ketika saya mulai membuat blog ini, tentu saja pikiran untuk mengangkat kembali masalah ini terngiang terus dalam pikiran saya, sehingga saya akhirnya memposting hasil klipingan tersebut dengan judul “Adolf Hitler Lari Dan Mati Di Indonesia” dengan tanggal posting 29 April 2009. Waktu itu saya tak pernah menduga bahwa reaksi akan kemunculan berita ini akan lumayan heboh sehingga “mengundang” pihak pemerintah untuk ikut berkomentar. Saya hanya ingin ada penelitian lebih lanjut mengenai masalah ini, yang dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai minat dan, ini dia, duit. Saya sendiri memang sangat berminat untuk menyelidiki misteri ini sehingga kebenarannya akan terungkap, tapi apa daya dana tidak mencukupi untuk ngalor ngidul ke Jawa mengunjungi makam “Hitler”!

Kemudian mulailah artikel tersebut dikutip sana-sini. Ada yang secara jujur mengungkapkan sumbernya, meskipun lebih sering yang asal kutip tanpa menyebutkan sumbernya. Mulai juga beberapa berita baru muncul belakangan yang memperlihatkan bahwa telah ada upaya dari orang atau badan tertentu untuk meneliti lebih jauh tentang keabsahan berita ini, termasuk mengunjungi langsung ke sumber beritanya, plus menziarahi makam tokoh misterius yang bernama Dr. Foch tersebut.

Jika saja ada yang rajin menyimpan klipingan artikel harian “Pikiran Rakyat” sekitar tahun 1983, tentu akan menemukan tulisan dokter Sosrohusodo mengenai pengalamannya bertemu dengan seorang dokter tua asal Jerman bernama Poch di pulau Sumbawa Besar pada tahun 1960. Dokter tua itu kebetulan memimpin sebuah rumah sakit besar di pulau tersebut.

Tapi bukan karena mengupas kerja dokter Poch, jika kemudian artikel itu menarik perhatian banyak orang, bahkan komentar sinis dan cacian! Namun kesimpulan akhir artikel itulah yang membuat banyak orang mengerutkan kening. Sebab dengan beraninya Sosro mengatakan bahwa dokter tua asal Jerman yang pernah berbincang-bincang dengannya, tidak lain adalah Adolf Hitler, mantan diktator Jerman yang super terkenal karena telah membawa dunia pada Perang Dunia II!

Beberapa “bukti” diajukannya, antara lain dokter Jerman tersebut cara berjalannya sudah tidak normal lagi, kaki kirinya diseret. Tangan kirinya selalu gemetar. Kumisnya dipotong persis seperti gaya aktor Charlie Chaplin, dengan kepala plontos. Kondisi itu memang menjadi ciri khas Hitler pada masa tuanya, seperti dapat dilihat sendiri pada buku-buku yang menceritakan tentang biografi Adolf Hitler (terutama saat-saat terakhir kejayaannya), atau pengakuan Sturmbannführer Heinz Linge, bekas salah seorang pembantu dekat sang Führer. Dan masih banyak “bukti” lain yang dikemukakan oleh dokter Sosro untuk mendukung dugaannya.

Keyakinan Sosro yang dibangunnya dari sejak tahun 1990-an itu hingga kini tetap tidak berubah. Bahkan ia merasa semakin kuat setelah mendapatkan bukti lain yang mendukung ‘penemuannya’. “Semakin saya ditentang, akan semakin keras saya bekerja untuk menemukan bukti-bukti lain,” kata lelaki yang lahir pada tahun 1929 di Gundih, Jawa Tengah ini ketika ditemui di kediamannya di Bandung.

Andai saja benar dr. Poch dan istrinya adalah Hitler yang tengah melakukan pelarian bersama Eva Braun, maka ketika Sosro berbincang dengannya, pemimpin Nazi itu sudah berusia 71 tahun, sebab sejarah mencatat bahwa Adolf Hitler dilahirkan tanggal 20 April 1889. “Dokter Poch itu amat misterius. Ia tidak memiliki ijazah kedokteran secuilpun, dan sepertinya tidak menguasai masalah medis,” kata Sosro, lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang sempat bertugas di pulau Sumbawa Besar ketika masih menjadi petugas kapal rumah sakit Hope.

Sebenarnya, tumbuhnya keyakinan pada diri Sosro mengenai Hitler di pulau Sumbawa Besar bersama istrinya Eva Braun, tidaklah suatu kesengajaan. Ketika bertugas di pulau tersebut dan bertemu dengan seorang dokter tua asal Jerman, yang ada pada benak Sosro baru tahap kecurigaan saja.

Meskipun begitu, ia menyimpan beberapa catatan mengenai sejumlah “kunci” yang ternyata banyak membantu. Perhatiannya terhadap literatur tentang Hitler pun menjadi kian besar, dan setiap melihat potret tokoh tersebut, semakin yakin Sosro bahwa dialah orang tua itu, orang tua yang sama yang bertemu dengannya di sebuah pulau kecil d Indonesia!

Ketidaksengajaan itu terjadi pada tahun 1960, berarti sudah dua puluh tahun lebih ia meninggalkan pulau Sumbawa Besar.

Suatu saat, seorang keponakannya membawa majalah Zaman edisi no.15 tahun 1980. Di majalah itu terdapat artikel yang ditulis oleh Heinz Linge, bekas pembantu dekat Hitler, yang berjudul “Kisah Nyata Dari Hari-Hari Terakhir Seorang Diktator”, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Try Budi Satria.

Pada halaman 59, Linge mula-mula menceritakan mengenai bunuh diri Hitler dan Eva Braun, serta cara-cara membakar diri yang kurang masuk di akal. Kemudian Linge membeberkan keadaan Hitler pada waktu itu.

“Beberapa alinea dalam tulisan itu membuat jantung saya berdetak keras, seperti menyadarkan saya kembali. Sebab di situ ada ciri-ciri Hitler yang juga saya temukan pada diri si dokter tua Jerman. Apalagi setelah saya membaca buku biografi ‘Hitler’. Semuanya ada kesamaan,” ungkap ayah empat anak ini.

Heinz Linge menulis, “beberapa orang di Jerman mengetahui bahwa Führer sejak saat itu kalau berjalan maka dia menyeret kakinya, yaitu kaki kiri. Penglihatannya pun sudah mulai kurang terang serta rambutnya hampir sama sekali tidak tumbuh… kemudian, ketika perang semakin menghebat dan Jerman mulai terdesak, Hitler menderita kejang urat.”

Linge melanjutkan, “di samping itu, tangan kirinya pun mulai gemetar pada waktu kira-kira pertempuran di Stalingrad (1942-1943) yang tidak membawa keberuntungan bagi bangsa Jerman, dan ia mendapat kesukaran untuk mengatasi tangannya yang gemetar itu.” Pada akhir artikel, Linge menulis, “tetapi aku bersyukur bahwa mayat dan kuburan Hitler tidak pernah ditemukan.”

Lalu Sosro mengenang kembali beberapa dialog dia dengan “Hitler”, saat Sosro berkunjung ke rumah dr. Poch. Saat ditanya tentang pemerintahan Hitler, kata Sosro, dokter tua itu memujinya. Demikian pula dia menganggap bahwa tidak ada apa-apa di kamp Auschwitz, tempat ‘pembantaian’ orang-orang Yahudi yang terkenal karena banyak film propaganda Amerika yang menyebutkannya.

“Ketika saya tanya tentang kematian Hitler, dia menjawab bahwa dia tidak tahu sebab pada waktu itu seluruh kota Berlin dalam keadaan kacau balau, dan setiap orang berusaha untuk lari menyelamatkan diri masing-masing,” tutur Sosrohusodo.

Di sela-sela obrolan, dr. Poch mengeluh tentang tangannya yang gemetar. Kemudian Sosro memeriksa saraf ulnarisnya. Ternyata tidak ada kelainan, demikian pula tenggorokannya. Ketika itu, ia berkesimpulan bahwa kemungkinan “Hitler” hanya menderita parkisonisme saja, melihat usianya yang sudah lanjut.

Yang membuat Sosro terkejut, dugaannya bahwa sang dokter mungkin terkena trauma psikis ternyata diiyakan oleh dr. Poch! Ketika disusul dengan pertanyaan sejak kapan penyakit itu bersarang, Poch malah bertanya kepada istrinya dalam bahasa Jerman.

“Itu kan terjadi sewaktu tentara Jerman kalah perang di Moskow. Ketika itu Goebbels memberi tahu kamu, dan kamu memukul-mukul meja,” ucap istrinya seperti ditirukan oleh Sosro. Apakah yang dimaksud dengan Goebbels adalah Joseph Goebbels, Menteri Propaganda Jerman yang terkenal setia dan dekat dengan Hitler? Istrinya juga beberapa kali memanggil dr. Poch dengan sebutan “Dolf”, yang mungkin merupakan kependekan dari Adolf!

Setelah memperoleh cemoohan sana-sini sehubungan dengan artikelnya, tekad Sosrohusodo untuk menuntaskan masalah ini semakin menggebu. Ia mengaku bahwa kemudian memperoleh informasi dari pulau Sumbawa Besar bahwa Poch sudah meninggal di Surabaya. Beberapa waktu sebelum meninggal, istrinya pulang ke Jerman. Poch sendiri konon menikah lagi dengan nyonya S, wanita Sunda asal Bandung, karyawan di kantor pemerintahan di pulau Sumbawa Besar!

Untuk menemukan alamat nyonya S yang sudah kembali lagi ke Bandung, Sosro mengakui bukanlah hal yang mudah. Namun akhirnya ada juga orang yang memberitahu. Ternyata, ia tinggal di kawasan Babakan Ciamis! Semula nyonya S tidak begitu terbuka tentang persoalan ini. Namun karena terus dibujuk, sedikit demi sedikit mau juga nyonya S berterus terang.

Begitu juga dengan dokumen-dokumen tertulis peninggalan suaminya kemudian diserahkan kepada Sosrohusodo, termasuk foto saat pernikahan mereka, plus rebewes (SIM) milik dr. Poch yang ada cap jempolnya. Dari nyonya S diketahui bahwa dr. Poch meninggal tanggal 15 Januari 1970 pukul 19.30 pada usia 81 tahun di Rumah Sakit Karang Menjangan Surabaya akibat serangan jantung. Keesokan harinya dia dimakamkan di desa Ngagel.

Dalam salah satu dokumen tertulis, diakuinya bahwa ada yang amat menarik dan mendukung keyakinannya selama ini. Pada buku catatan ukuran saku yang sudah lusuh itu, terdapat alamat ratusan orang-orang asing yang tinggal di berbagai negara di dunia, juga coretan-coretan yang sulit dibaca. Di bagian lainnya, terdapat tulisan steno. Semuanya berbahasa Jerman. Meskipun tidak ada nama yang menunjukkan kepemilikan, tapi diyakini kalau buku itu milik suami nyonya S.

Di sampul dalam terdapat kode J.R. KepaD no.35637 dan 35638, dengan masing-masing nomor itu ditandai dengan lambang biologis laki-laki dan wanita. “Jadi kemungkinan besar, buku itu milik kedua orang tersebut, yang saya yakini sebagai Hitler dan Eva Braun,” tegasnya dengan suara yang agak parau.

Negara yang tertulis pada alamat ratusan orang itu antara lain Pakistan, Tibet, Argentina, Afrika Selatan, dan Italia. Salah satu halamannya ada tulisan yang kalau diterjemahkan berarti : Organisasi Pelarian. Tuan Oppenheim pengganti nyonya Krüger. Roma, Jl. Sardegna 79a/1. Ongkos-ongkos untuk perjalanan ke Amerika Selatan (Argentina).

Lalu, ada pula satu nama dalam buku saku tersebut yang sering disebut-sebut dalam sejarah pelarian orang-orang Nazi, yaitu Prof. Dr. Draganowitch, atau ditulis pula Draganovic. Di bawah nama Draganovic tertulis Delegation Argentina da imigration Europa – Genua val albaro 38. secara terpisah di bawahnya lagi tertera tulisan Vatikan. Di halaman lain disebutkan, Draganovic Kroasia, Roma via Tomacelli 132.

Majalah Intisari terbitan bulan Oktober 1983, ketika membahas Klaus Barbie alias Klaus Altmann bekas polisi rahasia Jerman zaman Nazi, menyebutkan alamat tentang Val Albaro. Disebutkan pula bahwa Draganovic memang memiliki hubungan dekat dengan Vatikan Roma. Profesor inilah yang membantu pelarian Klaus Barbie dari Jerman ke Argentina. Pada tahun 1983 Klaus diekstradisi dari Bolivia ke Prancis, negara yang menjatuhkan hukuman mati terhadapnya pada tahun 1947.

“Masih banyak alamat dalam buku ini, yang belum seluruhnya saya ketahui relevansinya dengan gerakan Nazi. Saya juga sangat berhati-hati tentang hal ini, sebab menyangkut negara-negara lain. Saya masih harus bekerja keras menemukan semuanya. Saya yakin kalau nama-nama yang tertera dalam buku kecil ini adalah para pelarian Nazi!” tandasnya.

Mengenai tulisan steno, diakuinya kalau ia menghadapi kesulitan dalam menterjemahkannya ke dalam bahasa atau tulisan biasa. Ketika meminta bantuan ke penerbit buku steno di Jerman, diperoleh jawaban bahwa steno yang dilampirkan dalam surat itu adalah steno Jerman “kuno” sistem Gabelsberger dan sudah lebih dari 60 tahun tidak digunakan lagi sehingga sulit untuk diterjemahkan.

Tetapi penerbit berjanji akan mencarikan orang yang ahli pada steno Gabelsberger. Beberapa waktu lamanya, datang jawaban dari Jerman dengan terjemahan steno ke dalam bahasa Jerman. Sosrohusodo menterjemahkannya kembali ke dalam bahasa Indonesia. Judul catatan dalam bentuk steno itu, kurang lebih berarti “keterangan singkat tentang pengejaran perorangan oleh Sekutu dan penguasa setempat pada tahun 1946 di Salzburg”. Kota ini terdapat di Austria.

Di dalamnya berkisah tentang “kami berdua, istri saya dan saya pada tahun 1945 di Salzburg”. Tidak disebutkan siapakah ‘kami berdua’ di situ. Dua insan tersebut, kata catatan itu, dikejar-kejar antara lain oleh CIC (dinas rahasia Amerika Serikat). Pada pokoknya, menggambarkan penderitaan sepasang manusia yang dikejar-kejar oleh pihak keamanan.

Di dalamnya juga terdapat singkatan-singkatan yang ditulis oleh huruf besar, yang kalau diurut akan menunjukkan rute pelarian keduanya, yaitu B, S, G, J, B, S, R. “Cara menyingkat seperti ini merupakan kebiasaan Hitler dalam membuat catatan, seperti yang pernah saya baca dalam literatur yang lainnya,” Sosrohusodo memberikan alasan.

Dari singkatan-singkatan itu, lalu Sosro mencoba untuk mengartikannya, yang kemudian dikaitkan dengan rute pelarian. Pelarian dimulai dari B yang berarti Berlin, lalu S (Salzburg), G (Graz), J (Jugoslavia), B (Beograd), S (Sarajevo) dan R (Roma). Tentang Roma, Sosro menjelaskan bahwa itu adalah kota terakhir di Eropa yang menjadi tempat pelariannya. Setelah itu mereka keluar dari benua tersebut menuju ke suatu tempat, yang tidak lain tidak bukan adalah pulau Sumbawa Besar di Nusantara tercinta!

Ia mengutip salah satu tulisan dalam steno tadi : “Pada hari pertama di bulan Desember, kami harus pergi ke R untuk menerima suatu surat paspor, dan kemudian kami berhasil meninggalkan Eropa”. Ini, kata Sosro, sesuai dengan data pada paspor dr. Poch yang menyebutkan bahwa paspor bernomor 2624/51 diberikan di Rom (tanpa huruf akhir A)”. Di buku catatan berisi ratusan alamat itu, nama Dragonic dikaitkan dengan Roma, begitulah Sosro memberikan alasan lainnya.

Lalu mengenai Berlin dan Salzburg, diterangkannya dengan mengutip majalah Zaman edisi 14 Mei 1984. Dikatakan bahwa sejarah telah mencatat peristiwa jatuhnya pesawat yang membawa surat-surat rahasia Hitler yang jatuh di sekitar Jerman Timur pada tahun 1945. “Ini juga menunjukkan rute pelarian mereka,” katanya lagi.

Lalu bagaimana komentar nyonya S yang disebut-sebut Sosro sebagai istri kedua dr. Poch? Konon ia pernah berterus terang kepada Sosro. Suatu hari suaminya mencukur kumis mirip kumis Hitler, kemudian nyonya S mempertanyakannya, yang kemudian diiyakan bahwa dirinya adalah Hitler. “Tapi jangan bilang sama siapa-siapa,” begitu Sosro mengutip ucapan nyonya S.

Membaca dan menyimak ulasan dr. Sosrohusodo, sekilas seperti ada saling kait mengkait antara satu dengan yang lainnya. Namun masih banyak pertanyaan yang harus diajukan kepada Sosro, dengan tidak bermaksud meremehkan pendapat pribadinya berkaitan dengan Hitler, sebab mengemukakan pendapat adalah hak setiap warga negara.

Bahkan Sosrohusodo sudah membuat semacam diktat yang memaparkan pendapatnya tentang Hitler, dilengkapi dengan sejumlah foto yang didapatnya dari nyonya S. Selain itu, isinya juga mengisahkan tentang pengalaman sejak dia lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia hingga bertugas di Bima, Kupang, dan Sumbawa Besar. Ia juga telah mengajukan hasil karyanya ke berbagai pihak, namun belum ada tanggapan. “Padahal tidak ada maksud apa-apa di balik kerja saya ini, hanya ingin menunjukkan bahwa Hitler mati di Indonesia,” katanya mantap.

Bukan hanya Sosro yang mempunyai teori tentang pelarian Hitler dari Jerman ke tempat lain, tapi beberapa orang di dunia ini pernah mengungkapkannya dalam media massa. Peluang untuk berteori seperti itu memang ada, sebab ketika pemimpin Nazi tersebut diduga mati bersama Eva Braun tahun 1945, tidak ditemukan bukti utama berupa jenazah!

Adalah tugas para pakar dalam bidang ini untuk mencoba mengungkap segala sesuatunya, termasuk keabsahan dokumen yang dimiliki oleh Sosrohusodo, nyonya S, atau makam di Ngagel yang disebut sebagai tempat bersemayamnya dr. Poch.

Mungkin para ahli forensik dapat menjelaskannya lewat penelitian terhadap tulang-tulang jenazahnya. Semua itu tentu berpulang pada kemauan baik semua pihak…

Sedikit tambahan yang saya kutip dari Vivanews:

Adolf Hitler, diktator Jerman dan orang yang diyakini bertanggung jawab atas pembantaian bangsa Yahudi, diduga menghabiskan akhir hayatnya di Indonesia — sebagai dr Poch, dokter tua asal Jerman.

Menurut mantan pasiennya, Ahmad Zuhri Muhtar (55), dr Poch tinggal di rumah dinas dokter di Kompleks Rumah Sakit Sumbawa bersama istrinya yang asal Jerman.

Ketika istrinya itu kembali ke negeri asalnya, Poch lalu kesepian. “Dia menyendiri lalu kawin lagi dengan istinya yang asal [Pulau] Jawa, saya tidak tahu persisnya, mungkin Garut,” kata Ahmad kepada VIVAnews, Senin 22 Februari 2010.

Ada lagi fakta menarik soal dr Poch yang diungkap Ahmad. Kata dia, dr Poch bahkan masuk Islam karena menikah dengan perempuan muslim.

“Dinikahkan secara Islam, resepsinya di pendapa kabupaten. Ceritanya seperti itu,” tambah Ahmad.

dr Poch lalu pindah ke Surabaya, ke tempat istri barunya.

Keterangan Ahmad bersesuaian dengan kisah yang diungkap dr Sosrohusodo — dokter lulusan Universitas Indonesia yang pernah bertemu Poch di Sumbawa.

Kata Sosro, setelah istrinya yang asal Jerman, diduga Eva Braun, meninggalkannya, Poch yang diduga sebagai Hitler menikah lagi dengan wanita Sunda asal Bandung berinisial ‘S’. Terakhir ‘S’ diketahui tinggal di Babakan Ciamis.

Awalnya ‘S’ menutup mulut, namun akhirnya kepada Sosro, dia menyerahkan sejumlah dokumen milik suaminya, termasuk foto perkawinan, surat izin mengemudi lengkap dengan sidik jari Poch.

Ada juga buku catatan berisi nama-nama orang Jerman yang tinggal di beberapa negara, seperti Argentina, Italia, Pakistan, Afrika Selatan, dan Tibet. Juga beberapa tulisan tangan steno dalan bahasa Jerman

Buku catatan Poch berisi dua kode, J.R. KepaD No.35637 dan 35638, kode simbol lelaki dan perempuan.

“Ada kemungkinan buku catatatan dimiliki dua orang, Hitler dan Eva Braun,” kata Sosro.

Ada juga tulisan yang diduga rute pelarian Hitler — yakni B (Berlin), S (Salzburg), G (Graz), J (Jugoslavia), B (Belgrade), S (Sarajevo), R (Rome), sebelum dia ke Sumbawa Besar.

Istri kedua Poch, ‘S’ juga menceritakan suatu hari dia melihat suaminya mencukur kumis dengan gaya mirip Hitler. Ketika dia bertanya, suaminya menjawab, “jangan bilang siapa-siapa.”

Poch yang diduga adalah Hitler meninggal pada 15 Januari 1970 pukul 19.30 di Rumah Sakit Karang Menjangan Surabaya karena serangan jantung, dalam usia 81 tahun.

Sebuah makam di Ngagel jadi pintu masuk untuk menyelidiki kebenaran cerita akhir hayat ’sang Fuhrer’.

Apakah Hitler benar tewas bunuh diri di bunker di Berlin pada 30 April 1945, atau apakah mati dalam usia tua di Argentina, Brazil, Amerika Selatan, atau Indonesia — masih harus dikaji kebenarannya.

“NAZI Pasti Berusaha Selamatkan Hitler”

Mantan penguasa Jerman, Adolf Hilter dikabarkan meninggal di Surabaya. Sebuah makam bertuliskan dr GA Poch di TPU Ngagel, Surabaya jadi pintu masuk untuk menguak kebenaran misteri ini.

Suhartoko dosen Sejarah Universitas Negeri Surabaya (Unesa) menyikapi lunak informasi tersebut. “Benar atau tidak, itu sebuah sejarah besar, kita harus merasa tertantang untuk menelusurinya,” kata Suhartoko.

Diterangkan dia, Jerman pernah menjadi pusat perhatian dunia. Jerman adalah negara kuat, yang tengah mengembangkan nuklir di jamannya.

Itulah yang membuat posisi Jerman diperhitungkan oleh banyak negara.

“Di kepemimpinan Adolf Hitler, Jerman tengah menyiapkan pengerjaan reaktor senjata nuklir di Afrika Barat. Diberi nama Guns of Navarone. Jika itu terwujud, Jerman menjadi negara superpower tidak ada yang menandingi,” lanjut dosen sejarah itu.

“Saat negara itu hancur, Amerika Serikat dan Uni Soviet saling berebut apa saja yang dimiliki Jerman. Termasuk tokoh-tokoh dan ilmuwan NAZI,” terang lulusan S2 UGM ini.

“Saat terjadi kerusuhan besar-besaran, banyak orang pintar atau ilmuwan Jerman yang hilang. Ada yang menyebut mati dibunuh ada juga yang mengatakan diculik dan dibawa ke negara lain. Banyak juga yang hingga saat ini belum diketahui rimbanya,” lanjut dia.

Terkait sejumlah spekulasi yang muncul terkait kematian Hitler, Suhartoko mengatakan bisa jadi pascakerusuhan, Adolf Hitler menghilang.

Dosen itu menyebut, sebagai pucuk pimpinan itu hal wajar, NAZI pasti berusaha melindungi dan menyelamatkan pimpinannnya. Kalau tidak, ia juga akan menjadi korban target “perburuan” orang pintar asal Jerman.

“Nah, yang dihubungkan dengan pelariannya ke Indonesia inilah yang perlu dikaji dengan cermat.

Apalagi, sekarang muncul dugaan makam dr GA Poch di TPU Ngagel adalah Hitler. Ini menarik, karena Indonesia khususnya Surabaya akan kembali tercatat sebagai perjalanan panjang sejarah dunia. Ini tugas Anda menelusurinya,” kata Suhartoko.

Ditanya kemungkinan ada pelarian tentara NAZI ke Indonesia, menurutnya itu sangat mungkin. Sebab, kala itu Indonesia masih ‘dikuasai’ Belanda. Dikatakan, bisa jadi dengan menyaru sebagai tenaga medis, Hitler ataupun orang NAZI lainnya masuk ke Indonesia.

Mereka lalu melakukan tugas kemanusiaan di Pulau Sumbawa Besar. “Itu mungkin saja lhoterjadi,” katanya.

Terlepas, dia [dr Poch] Hitler atau bukan, melakukan kegiatan pengobatan di daerah terpencil, adalah peluang untuk menghilangkan jejak. “Ini menarik,” lanjutnya.

Soal hijrahnya Poch ke Surabaya dan lalu dirawat di RS Karang Menjangan, Suhartoko memberikan beberapa kemungkinan.

Pertama, mungkin saja, Poch sengaja menyembunyikan identitas. Mengaku sebagai sebagai tenaga medis PMI Internasional, hingga dirawat di Karang Menjangan.

“Itu sangat mungkin, sebab sesama petugas kemanusiaan atau (PMI) Internasional Karang Menjangan -yang saat itu dikuasai asing- pasti menerima dan memberikan layanan,” kata dia.

Kemungkinan kedua, Poch dirawat sebagai tentara. Di Surabaya dulu, tentara berpangkat tinggi dirawat di RS Simpang dan RS Darmo. Sementara, Karang Menjagan menjadi rujukan pasien umum, dan juga tentara.

Atau, kemungkinan ketiga, Poch juga ikut bekerja di RS Karang Menjangan sebagai dokter.

Sayangnya, RS Simpang yang diduga menyimpan dokumen sejarah berubah menjadi pertokoan. Arsip atau dokumen itu tidak diketahui rimbanya.

“Saya yakin, semua dokumen saat itu ada di RS Simpang yang kini sudah hilang,” ujar dia.

***

Sebelumnya, spekulasi Adolf Hitler meninggal di Surabaya, itu diawali dari artikel HarianPikiran Rakyat pada tahun 1983. Penulisnya bernama dr Sosrohusodo — dokter lulusan Universitas Indonesia yang pernah bertugas di kapal yang dijadikan rumah sakit bernama ‘Hope’ di Sumbawa Besar.

Kata Sosrohusodo, Poch, dokter tua Jerman yang dia temui di Sumbawa adalah Hitler.

“WN Singapura Mengajak Saya Mencari Hitler”

Wartawan Pikiran Rakyat, Enton Supriyatna mengaku mendapatkan telepon internasional dari Singapura terkait dugaan Adolf Hitler menyaru sebagai dr Poch di Indonesia.

Telepon itu datang lama setelah wawancaranya dengan dr Sosrohusodo pada tahun 1994, dimuat. Sosro bahkan sudah meninggal dunia.

“Orang itu bernama Chong, dia mengaku dititipi amanat berupa data-data tentang tentang Poch oleh keluarga Sosrohusodo,” kata Enton.

Redaktur Pelaksana Galamedia ini mengaku tak tahu apa hubungan Chong dengan keluarga dr Sosro. “Yang saya tahu istri dr Sosro punya bisnis di Singapura dan mempercayakan temuan suaminya pada dia,” jelas Enton.

Dalam blog-nya bertanggal 8 Agustus 2008, Enton menceritakan ucapan Chong saat itu. “Ini persoalan besar, Pak. Mungkin akan menjadi sebuah berita besar dunia, jika kita mampu mengungkap misteri tersebut. Saya ingin mengajak Bapak untuk bekerja sama menjalankan misi ini. Kita harus bertemu secepatnya,” kata Enton, menirukan perkataan Chong.

Chong mengajak bertemu di Batam, untuk membicarakan langkah selanjutnya. “Bahkan dia meminta saya menyiapkan materi jumpa pers di Singapura tentang masalah tersebut. Selanjutnya, akan dijajaki kemungkinan masuk saluran televisi CNN,” kata Enton.

Enton mengaku miskin data dan tak memiliki cukup waktu dan dana untuk investigasi. “Rasa-rasanya, ada hal yang lebih penting dalam hidup saya ketimbang mendalami masalah ini. Maafkan saya, Chong….,” kata Enton dalam blog-nya.

Namun, Enton mengaku minatnya untuk menelusuri kasus ini kembali timbul.” Apalagi diberitakan bahwa tengkorak Hitler yang dimiliki Rusia ternyata tengkorak perempuan,” kata dia.

Cerita Adolf Hitler diduga meninggal di Surabaya, diawali dari artikel Harian Pikiran Rakyat pada tahun 1983. Penulisnya bernama dr Sosrohusodo — dokter lulusan Universitas Indonesia yang pernah bertugas di kapal yang dijadikan rumah sakit bernama ‘Hope’ di Sumbawa Besar.

Kata Sosrohusodo, Poch, dokter tua Jerman yang dia temui di Sumbawa adalah Hitler. Poch diketahui meninggal di Rumah Sakit Karang Menjangan, Surabaya, Jawa Timur.

Istana Bicara Soal Hitler

Kabar diktaktor Jerman, Adolf Hitler, meninggal di Surabaya sampai juga ke Istana Negara. Juru bicara presiden, Julia Pasha, mengaku sudah mendengarnya. Apa kata dia?

“Susah verifikasi kebenarannya, harus dipastikan kepada yang tahu sejarah,” kata Julian di Istana Negara, Jakarta, Kamis 25 Februari 2010.

Pemerintah sendiri, kata Julian, tidak berniat mengecek kebenarannya. “Nggak-lah harus sejarawan yang bisa memberikan klarifikasi,” kata Julian.

Spekulasi bahwa Hitler meninggal di usia tua di Surabaya, Indonesia diawali artikel di Harian Pikiran Rakyat pada tahun 1983. Penulisnya bernama dr Sosrohusodo — dokter lulusan Universitas Indonesia yang pernah bertugas di kapal yang dijadikan rumah sakit bernama ‘Hope’ di Sumbawa Besar.

Kata Sosrohusodo, Poch, dokter tua Jerman yang dia temui di Sumbawa adalah Hitler.

Bukti-bukti yang diajukan Sosrohusodo, adalah bahwa dokter tersebut tak bisa berjalan normal — dia selalu menyeret kaki kirinya ketika berjalan.

Kemudian, tangannya, kata Sosrohusodo, tangan kiri dokter Jerman itu selalu bergetar. Dia juga punya kumis vertikal mirip Charlie Chaplin, dan kepalanya gundul.

Kondisi ini diyakini mirip dengan gambaran Hilter di masa tuanya — yang ditemukan di sejumlah buku biografi sang Fuhrer. Saat bertemu dengannya di tahun 1960, orang yang diduga Hitler berusia 71 tahun.

Menurut Sosrohusodo, dokter asal Jerman yang dia temui sangat misterius. Dia tidak punya lisensi untuk jadi dokter, bahkan dia sama sekali tak punya keahlian tentang kesehatan.

Poch diketahui meninggal pada 15 Januari 1970 pukul 19.30 di Rumah Sakit Karang Menjangan Surabaya karena serangan jantung, dalam usia 81 tahun. Dia dimakamkan sehari kemudian di daerah Ngagel.

Namun, fakta di mana ’sang Fuhrer’ menghabiskan akhir hayatnya belum bisa dipastikan sampai saat ini. Ada yang yakin Hitler tewas bunuh diri di sebuah bunker di Berlin pada 30 April 1945.

Ada juga versi lain, bahwa pemimpin Nazi ini meninggal di Argentina, Brazil, atau sebuah tempat di Amerika Selatan.

Makam dr Poch sendiri di Tempat Pemakaman Umum Ngagel Utara, Surabaya kini tidak terawat. Di atas makam tersebut kini ditumbuhi rumput liar dan tanaman rambat yang oleh warga sekitar disebut golang galing. Makam itu dikelilingi pagar yang sudah berkarat. Sebuah pintu masuk kini sulit dibuka karena sudah saling menempel akibat karat yang melekat kuat. Pagar itu kini dimanfaatkan penjaga makam untuk menjemur pakaian.

Di nisan berbatu granit hitam abu-abu itu hanya tertulis identitas sang dokter sebagai ‘dr GA Poch’. Tidak ditulis kapan Poch lahir dan kapan ia wafat. Selain namanya, identitas lain yang dituliskan hanyalah ‘CC 258′, yakni nomor urut makam. Dia satu-satunya orang asing yang dimakamkan di pemakaman tersebut.

Tidak banyak yang tahu sejarah makam dr Poch karena kuncen makam tersebut sudah meninggal lima tahun silam. Beberapa orang yang pernah mendapat cerita dari sang kuncen mengatakan, dr Poch dimakamkan oleh dokter-dokter yang bertugas di RS Karang Menjangan, tempatnya dirawat di Surabaya.

Sumber :

Harian “Pikiran Rakyat” edisi 24 Februari 1994

Majalah “Zaman” edisi No.15 tahun 1980

Majalah “Zaman” edisi 14 Mei tahun 1984

Majalah “Intisari” edisi bulan Oktober tahun 1983

www.photobucket.com

www.en.wikipedia.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar